"Tiba-tiba wisuda," sejatinya adalah sebuah mantera andalan ketika hati dan pikiran mulai berontak ingin menyerah dengan segala drama pertesisan. "Udah lah, toh semua akan berlalu. Gapapa, jalani saja. Ntar tau-tau juga wisuda," kata saya kepada diri sendiri. Membohongi diri sendiri lebih tepatnya. Karena kenyataannya, wisuda saya hari ini sama sekali bukan hal yang "tiba-tiba".Sejujurnya, masih nggak percaya bisa sampai di titik ini. Kalau ingat...
Jumat, 19 Februari 2021. Bangun jam empat pagi, sholat tahajud, terus cek hp. Gemeter lihat chat teman-teman, banyak panggilan masuk tak terjawab. Habis lihat chat di grup kelas, langsung lemes, bingung, seketika kosong. "Ya Alloh. Jangan gini dong," rengekku di tengah tangis sesenggukan subuh-subuh. Habis itu seharian bener-bener nggak fokus ngapa-ngapain. Sesak banget rasanya. Segalanya terjadi begitu cepat sedang otakku melambat untuk mencerna. Sampai detik...
Suatu hari ketika usiaku baru saja memasuki 25 tahun, seseorang menyuruhku untuk mulai memikirkan perihal pernikahan. Kuiyakan saja biar cepat. Tapi jadi kepikiran setelahnya.Satu-dua tahun belakangan teman-teman seangkatan silih berganti membagi kabar gembira; dari yang mau lamaran, mau nikah, sampai yang sudah hamil dan melahirkan. Kemudian story mereka dipenuhi foto gemas pertumbuhan anak-anak mereka, atau keseruan memasak untuk suami tercinta, atau dekorasi rumah...
Adapun alasan menulis ini semoga bukan karena mendapat firasat akan segara berpulang atau sejenisnya. Karena tentu saja diriku belum siap. Hanya saja, tiba-tiba ingin menulis ini setelah kehilangan seorang teman baik terlalu cepat, dan membuatku merenungi banyak hal; sampai usia berapa aku menjadi manusia bumi? Seperti apa caraku berpulang? Sempatkah aku berpamitan? Adakah orang-orang bersedih saat aku meninggalkan dunia? Seperti apa diriku akan...