Seperempat Abad Menjadi Manusia Bumi

By Arihanaova - Februari 16, 2021

Suatu hari ketika usiaku baru saja memasuki 25 tahun, seseorang menyuruhku untuk mulai memikirkan perihal pernikahan. Kuiyakan saja biar cepat. Tapi jadi kepikiran setelahnya.

Satu-dua tahun belakangan teman-teman seangkatan silih berganti membagi kabar gembira; dari yang mau lamaran, mau nikah, sampai yang sudah hamil dan melahirkan. Kemudian story mereka dipenuhi foto gemas pertumbuhan anak-anak mereka, atau keseruan memasak untuk suami tercinta, atau dekorasi rumah ala-ala, dan segala kegiatan seputar kehidupan rumah tangga lainnya. 
 
Kalau sudah begitu, jadilah kubanding-bandingkan hidup mereka dengan hidupku yang masih tidak jelas apalah ini. Hidupku yang sibuk baca jurnal yang mostly aku nggak paham makudnya apa tapi harus tetap dibaca. Sibuk fangirling ngebucinin jinan youngk. Sibuk berdebat dengan diri sendiri. Bikin masalah sendiri, nyelesain sendiri. Nggak jelaslah pokoknya.

Kemudian aku bertanya ke diriku sendiri; memangnya kamu mau hidup yang seperti apa?

Well, pertanyaan itu bukan hal baru dalam hidupku. Sudah sering muncul. Dan jawabannya sampai sekarang masih sama; tidak tahu.

Kalau dipikir-pikir, aku memang tidak pernah punya tujuan pasti. Hidupku kubiarkan mengalir begitu saja. Toh sejak dulu setiap apa yang kuinginkan tidak pernah menjadi kenyataan. Entah apa memang usahaku yang kurang maksimal. Atau memang benar kata mereka, bahwa Gusti Alloh lebih tahu apa yang aku butuh, meski aku tidak ingin.
 
Seingatku, dulu aku punya keinginan menikah di usia 24 tahun. Alasannya, karena kakak perempuanku menikah di usia itu. Biasalah namanya adik. Jadi, kalau sekarang ditanya, apakah aku ingin kehidupan seperti teman-temanku yang kuceritakan tadi, maka adalah bohong jika kujawab tidak. Tentu saja aku ingin. Tapi lagi-lagi, apa yang kuingini tidak menjadi kenyataan. 
 
Setelah lulus kuliah S1, daripada melanjutkan S2, aku jauh lebih ingin bekerja. Karna drama skripsian yang sungguh menguras tenaga dan emosi, rasanya aku tidak terlalu mumpuni untuk menjadi akademisi. Kucoba mendaftar bekerja disana-sini, tidak ada yang nyantol. Kucoba ikut beasiswa sejuta umat untuk lanjut kuliah S2 yang saingannya luar biasa buanyak, lolos. Ya aku harus gimana selain bersyukur dan menerima dengan senang hati.

Banyak keinginanku yang tidak terwujud, tapi aku tetap bersyukur dan berbahagia. Tak kunjung dipertemukan dengan jodoh, aku tetap bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang yang memberi sudut pandang baru terhadap caraku berpikir. Meski dengan kehidupan yang tidak jelas begini, aku masih nggak masalah. Toh memang tidak ada yang benar-benar jelas di dunia ini. Aku bersyukur bisa menghabiskan usia 20-anku dengan diriku sendiri. Mau kemana tinggal pergi, ingin apa tinggal beli, mau ngapain tinggal dilakuin, tanpa harus kepikiran persoalan rumah tangga.
 
Bukan maksudku anggap kehidupan setelah menikah itu merepotkan dan tidak asik. Percayalah, ini hanya caraku menghibur diri sendiri. Aku tahu ada banyak kebahagian di kehidupan setelah menikah, yang sudah pasti, aku juga menginginkannya. Tapi ya gitu.
 
Masih ada banyak hal dari diriku yang ingin aku perbaiki. Yang paling dasar saja nih, cara berkomunikasi dan mengatur keuangan, kusadari aku masih sangat buruk. Jadi tidak masalah jika semesta belum mempertemukan aku dengan jodohku. Karna rupanya aku memang belum siap, belum selesai dengan diriku sendiri.
 
Masih banyak tempat-tempat yang ingin aku kunjungi. Masih ingin bertemu banyak orang yang bermacam-macam. Masih ingin membuat banyak pengalaman untuk nanti kuceritakan ke anak-cucu.

Intinya, sebagai manusia bumi berusia seperempat abad, aku hanya ingin menjalani hidupku dengan banyak syukur dan bahagia. Mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan sebaik mungkin. Mengikuti arus kehidupan yang entah kemana ia menuju.

Sekian. Terima kasih.

  • Share:

0 comments