This is a story about my first very fun and unforgettable ethnography fieldwork!
Jadi, perjalanan kali ini sejatinya adalah tugas mata kuliah etnografi. Setelah beberapa minggu kami belajar teori di kelas, saatnya terjun langsung ke lapangan melihat realita sesungguhnya. Dan, daripada tugas kuliah, penelitian lapangan kali ini lebih mirip main, asli.
Sabtu, 26 Oktober 2019. Jam 8 pagi kami sudah siap berangkat. Rombongan mobil sudah berangkat duluan. Yang pakai motor merasa masih ada yang kurang. Diabsen lagi, oalah bang elvan belum datang. Ternyata dari pagi memang dia nggak bisa dihubungi. Langsung lah grebek ke kosnya. Untung mas hardian tau kosnya dimana. Dan benar, dia masih tidur dong. Gapapa deh, mas jurnalis bebas. Wkwkwk.
Sudah berangkatnya molor, di perjalanan pun kita banyak berhenti. Isi bensin, ada yang motornya berasa nggak enak, sampai ada info razia zebra, jadi harus berhenti dulu karena banyak yang nggak bawa surat lengkap, ternyata. Hemm. Perjalanan Sleman-Imogiri rasa Jogja-Surabaya ini sih.
Sampai di penginapan, istirahat sebentar, kemudian breafing, makan siang, dan berangkat menuju tkp. Kita total 20 orang, dibagi ke 3 dusun yang ada di Desa Sriharjo, dengan objek penelitian yang beda-beda. Saya sendiri objek penelitiannya adalah kehidupan rumah tangga, terkhusus ibu-ibu rumah tangga, di Dusun Sompok. Yang meneliti di Dusun Sompok sendiri ada 7 orang; saya, ade, mba yayum, mbak ziva, mba lutfi, mas arya, dan mas zaki.
Sekitar jam 2-3 siang, kami sampai di Dusun Sompok. Pertama menginjakkan kaki, yang terlintas dalam benak saya; Dusun Sompok ini mirip dengan desa asal bapak saya, di Lembor, Lamongan. Saya jadi berasa pulang kampung. Ehhee.
Disana kami bertemu Mas Made (dosen kami), kemudian ngobrol sebentar di rumah Pak Kadus bersama Pak Kadus juga tentunya. Pak Kadus ngasi gambaran umum tentang Dusun Sompok, beberapa menit, kemudian kami langsung jalan-jalan keliling dusun. Mencari narasumber sesuai dengan objek penelitian masing-masing. Yang di perdagangan langsung mampir ke toko klontong. Yang meneliti kelompok pemuda langsung menghampiri segerombolan pemuda yang lagi asik nggak tau main apa. Dan lain-lain.
Saya sendiri langsung mencari ibu-ibu yang kelihatannya asik diajak rumpi. Tapi nggak tau kenapa nggak ketemu. Jadi saya memutuskan untuk sore hari itu saya jalan-jalan saja menikmati suasana dusun sambil mengamati kehidupan disana. Ikut nimbrung di toko klontong, tempat mas arya lagi wawancara. Kemudian jalan-jalan lagi sambil nunggu teman-teman yang penelitian di dusun sebelah. Kami janjian untuk menikmati sunset di Sungai Oyo. Ada nama spesifik lokasinya, tapi saya lupa. Pokoknya yang ada miniatur tugu jogja di tengah sungainya. Wehhee.
Kami kembali ke penginapan saat hari sudah gelap. Akses jalan di sekitar Dusun Sompok memang sudah beraspal cukup bagus, tapi penerangan masih sangat kurang. Jadi ada kejadian lucu dari mba zifa yang boncengan sama mba yayum pakai motornya bang elvan, yang mengira lampu depan motor itu rusak, padahal itu motor metik lama yang nyalain lampunya masih manual.
Udah gitu saya dan ade yang saya bonceng juga percaya aja kalau itu memang rusak (motor bang elvan nggak meyakinkan sih wkwkw), kemudian stay di belakang mereka, bantu kasi penerangan pakai motor saya. Sok hero banget. Tapi kemudian kami terpisah dari rombongan padahal kami berempat nggak ada yang tau jalan. Kocak! Tapi nggak lama mas zaki datang menjemput dan menyalakan lampu motor itu. Wkwkw. Ngakak lah aku sepanjang jalan balik ke penginapan.
Esok paginya, saya bangun jam 4 subuh. Malam hari saya janjian sama kak jiah, salah satu teman dari Korea, selatan tentunya, untuk melihat sunrise di Mangunan. Kami kesana cuma berdua, karena teman-teman yang lain nggak ada yang mau untuk bangun sepagi itu. Lumayan nekat kami nih, meskipun tempatnya nggak jauh dari penginapan, hanya 15 menit pakai motor, tapi kami belum tau jalan dan medan kayak apa, hanya berbekal info dari mbah gugel. Sempat agak nyasar juga tapi aman. Tepat waktu kami sampai lokasi pas sunrise, tapi ramai sekali jadi agak nggak asik.
Puas duduk-duduk menikmati sunrise, kami sarapan soto kemudian kembali ke penginapan. Teman-teman sudah menunggu untuk observasi hari kedua. Tapi sampai penginapan saya malah balik tidur lagi, ngantuk sekali wkwkw dasar!
Jam 8 lebih baru berangkat ke Sompok. Saya bareng sama ade dan mas arya, berkunjung ke salah satu keluarga milenial yang punya usaha perhiasan perak bernama Segoro Silver (follow instagram @segorosilver). Saya wawancara (baca: rumpi) dengan sang istri, Bu Karmila yang ternyata seumuran dengan saya dan sudah punya anak usia tiga tahun sedangkan saya masih jomblo. Wuhuu. Anak Bu Karmila namanya Dila. Pas lihat Dila, saya merasa lihat masa kecil saya; lebih suka main bola lari-larian ke jalanan nggak pakai sandal, daripada main bonek di rumah. Sampai jumpa nanti kalau udah besar ya, Dila. Heheh.
Ngobrol banyak sekali kami dengan keluarga milenial ini, mulai dari jatuh-bangun usaha mereka, kondisi keluarga, sampai keadaan dusun terutama saat terjadi banjir dan tanah longsor beberapa tahun lalu. Jadi Dusun Sompok ini memang berada di daerah rawan bencana dan sudah jadi dusun tanggap bencana juga. Sungai Oyo ini memang besar sekali dan yang saya lihat kemarin hanya jajaran batu-batu alias kering sekali, karena masih kemarau panjang. Tapi katanya kalau sudah masuk penghujan, air bisa sampai meluap.
Bu Karmila cerita gimana was-wasnya mereka kalau hujan turun, apalagi malam hari. Selalu si bapak bolak-balik ngecek ke sungai, airnya sudah seberapa. Nggak bisa tidur pokoknya kalau turun hujan malam hari. Padahal setiap malam saya selalu berdoa semoga turun hujan karena suara hujan bikin tidur saya lebih nyenyak. Huhuh.
Puas rumpi berfaedah dengan mereka, kami lanjut rumpi dengan Bu Monah (nggak pakai lisa wkwkw). Bu Monah ini salah satu ibu-ibu tangguh, ditinggal suami merantau ke Jakarta, sendiri di rumah merawat anak dan cucu sembari mengurus toko, setiap pagi kulakan barang-barang ke Pasar Imogiri pakai motor. Luar biasa. Yang saya kaget pas si ibu bilang usianya sudah 46 tahun, karena saya kira masih 30-an. Sehat dan bahagia terus ya, Bu Monah.
Sekitar jam 12 kami menyudahi observasi kami, karena sudah ditunggu teman-teman yang lain untuk kembali ke Jogja. Dan, ada lagi kejadian oleh mba zifa dan mba yayum. Kali ini mereka bawa motornya mas hardian dan ban bocor di tengah perjalanan balik ke penginapan. Hemm. Kok mba zifa dan mba yayum terus yang kena yaa. Wkwkw.
Lumayan lama kami cari tambal ban karena hari minggu pada tutup, tapi akhirnya ketemu. Udah gitu dapat kabar dari yang di penginapan kalau rombongan mobil sudah balik duluan. Padahal motor cuma ada lima, sedangkan kami masih tinggal bersebelas. Huft. Agak kezel sebenarnya. Karena kebiasaan saya kalau pergi dengan rombongan yaa berangkat ber-berapa, baliknya juga harus segitu. Tapi yasudah. Masih ada ojek online andalan.
Di perjalanan balik ke Jogja, teman-teman ngajak makan di Sate Klathak Pak Pong yang itu adalah kambing! Padahal saya nih nyium bau kambing aja pusing, tapi okelah kalau bareng-bareng mah saya happy. Malah saking laparnya, saya sikat habis satu porsi besar nasi goreng kambing. Tapi sampai di kos, keluar semua itu nasgor. Heuu.
Oke. Sekian perjalanan etnografi lapangan pertama saya. Lumayan mengobati rindu saya yang lama sekali nggak main ke tempat mblusuk-mblusuk dan motoran jauh rame-rame. Masalah laporan dipikir besok sambil ngeteh lah. Heheh.
Sekitar jam 2-3 siang, kami sampai di Dusun Sompok. Pertama menginjakkan kaki, yang terlintas dalam benak saya; Dusun Sompok ini mirip dengan desa asal bapak saya, di Lembor, Lamongan. Saya jadi berasa pulang kampung. Ehhee.
Disana kami bertemu Mas Made (dosen kami), kemudian ngobrol sebentar di rumah Pak Kadus bersama Pak Kadus juga tentunya. Pak Kadus ngasi gambaran umum tentang Dusun Sompok, beberapa menit, kemudian kami langsung jalan-jalan keliling dusun. Mencari narasumber sesuai dengan objek penelitian masing-masing. Yang di perdagangan langsung mampir ke toko klontong. Yang meneliti kelompok pemuda langsung menghampiri segerombolan pemuda yang lagi asik nggak tau main apa. Dan lain-lain.
Saya sendiri langsung mencari ibu-ibu yang kelihatannya asik diajak rumpi. Tapi nggak tau kenapa nggak ketemu. Jadi saya memutuskan untuk sore hari itu saya jalan-jalan saja menikmati suasana dusun sambil mengamati kehidupan disana. Ikut nimbrung di toko klontong, tempat mas arya lagi wawancara. Kemudian jalan-jalan lagi sambil nunggu teman-teman yang penelitian di dusun sebelah. Kami janjian untuk menikmati sunset di Sungai Oyo. Ada nama spesifik lokasinya, tapi saya lupa. Pokoknya yang ada miniatur tugu jogja di tengah sungainya. Wehhee.
Kami kembali ke penginapan saat hari sudah gelap. Akses jalan di sekitar Dusun Sompok memang sudah beraspal cukup bagus, tapi penerangan masih sangat kurang. Jadi ada kejadian lucu dari mba zifa yang boncengan sama mba yayum pakai motornya bang elvan, yang mengira lampu depan motor itu rusak, padahal itu motor metik lama yang nyalain lampunya masih manual.
Udah gitu saya dan ade yang saya bonceng juga percaya aja kalau itu memang rusak (motor bang elvan nggak meyakinkan sih wkwkw), kemudian stay di belakang mereka, bantu kasi penerangan pakai motor saya. Sok hero banget. Tapi kemudian kami terpisah dari rombongan padahal kami berempat nggak ada yang tau jalan. Kocak! Tapi nggak lama mas zaki datang menjemput dan menyalakan lampu motor itu. Wkwkw. Ngakak lah aku sepanjang jalan balik ke penginapan.
Esok paginya, saya bangun jam 4 subuh. Malam hari saya janjian sama kak jiah, salah satu teman dari Korea, selatan tentunya, untuk melihat sunrise di Mangunan. Kami kesana cuma berdua, karena teman-teman yang lain nggak ada yang mau untuk bangun sepagi itu. Lumayan nekat kami nih, meskipun tempatnya nggak jauh dari penginapan, hanya 15 menit pakai motor, tapi kami belum tau jalan dan medan kayak apa, hanya berbekal info dari mbah gugel. Sempat agak nyasar juga tapi aman. Tepat waktu kami sampai lokasi pas sunrise, tapi ramai sekali jadi agak nggak asik.
Puas duduk-duduk menikmati sunrise, kami sarapan soto kemudian kembali ke penginapan. Teman-teman sudah menunggu untuk observasi hari kedua. Tapi sampai penginapan saya malah balik tidur lagi, ngantuk sekali wkwkw dasar!
Jam 8 lebih baru berangkat ke Sompok. Saya bareng sama ade dan mas arya, berkunjung ke salah satu keluarga milenial yang punya usaha perhiasan perak bernama Segoro Silver (follow instagram @segorosilver). Saya wawancara (baca: rumpi) dengan sang istri, Bu Karmila yang ternyata seumuran dengan saya dan sudah punya anak usia tiga tahun sedangkan saya masih jomblo. Wuhuu. Anak Bu Karmila namanya Dila. Pas lihat Dila, saya merasa lihat masa kecil saya; lebih suka main bola lari-larian ke jalanan nggak pakai sandal, daripada main bonek di rumah. Sampai jumpa nanti kalau udah besar ya, Dila. Heheh.
Ngobrol banyak sekali kami dengan keluarga milenial ini, mulai dari jatuh-bangun usaha mereka, kondisi keluarga, sampai keadaan dusun terutama saat terjadi banjir dan tanah longsor beberapa tahun lalu. Jadi Dusun Sompok ini memang berada di daerah rawan bencana dan sudah jadi dusun tanggap bencana juga. Sungai Oyo ini memang besar sekali dan yang saya lihat kemarin hanya jajaran batu-batu alias kering sekali, karena masih kemarau panjang. Tapi katanya kalau sudah masuk penghujan, air bisa sampai meluap.
Bu Karmila cerita gimana was-wasnya mereka kalau hujan turun, apalagi malam hari. Selalu si bapak bolak-balik ngecek ke sungai, airnya sudah seberapa. Nggak bisa tidur pokoknya kalau turun hujan malam hari. Padahal setiap malam saya selalu berdoa semoga turun hujan karena suara hujan bikin tidur saya lebih nyenyak. Huhuh.
Puas rumpi berfaedah dengan mereka, kami lanjut rumpi dengan Bu Monah (nggak pakai lisa wkwkw). Bu Monah ini salah satu ibu-ibu tangguh, ditinggal suami merantau ke Jakarta, sendiri di rumah merawat anak dan cucu sembari mengurus toko, setiap pagi kulakan barang-barang ke Pasar Imogiri pakai motor. Luar biasa. Yang saya kaget pas si ibu bilang usianya sudah 46 tahun, karena saya kira masih 30-an. Sehat dan bahagia terus ya, Bu Monah.
Sekitar jam 12 kami menyudahi observasi kami, karena sudah ditunggu teman-teman yang lain untuk kembali ke Jogja. Dan, ada lagi kejadian oleh mba zifa dan mba yayum. Kali ini mereka bawa motornya mas hardian dan ban bocor di tengah perjalanan balik ke penginapan. Hemm. Kok mba zifa dan mba yayum terus yang kena yaa. Wkwkw.
Lumayan lama kami cari tambal ban karena hari minggu pada tutup, tapi akhirnya ketemu. Udah gitu dapat kabar dari yang di penginapan kalau rombongan mobil sudah balik duluan. Padahal motor cuma ada lima, sedangkan kami masih tinggal bersebelas. Huft. Agak kezel sebenarnya. Karena kebiasaan saya kalau pergi dengan rombongan yaa berangkat ber-berapa, baliknya juga harus segitu. Tapi yasudah. Masih ada ojek online andalan.
Di perjalanan balik ke Jogja, teman-teman ngajak makan di Sate Klathak Pak Pong yang itu adalah kambing! Padahal saya nih nyium bau kambing aja pusing, tapi okelah kalau bareng-bareng mah saya happy. Malah saking laparnya, saya sikat habis satu porsi besar nasi goreng kambing. Tapi sampai di kos, keluar semua itu nasgor. Heuu.
Oke. Sekian perjalanan etnografi lapangan pertama saya. Lumayan mengobati rindu saya yang lama sekali nggak main ke tempat mblusuk-mblusuk dan motoran jauh rame-rame. Masalah laporan dipikir besok sambil ngeteh lah. Heheh.