Semarang, Sejarah dan Kamu

By Arihanaova - Maret 26, 2015

"Semarang ramai. Hatiku sepi," gumam seorang laki-laki di tengah kegalauannya.

Laki-laki ini keturunan Arab yang lahir di Surabaya. Pernah tinggal di Jakarta, Bandung, dan sekarang menjadi perantau sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah semester akhir di salah satu kampus ternama di Semarang. Namanya Haikal Alfarizi.

Agenda rutin setiap malam Sabtu adalah ke Pura Agung Girinata. Bukan untuk ibadah. Dia muslim.

Pergi ke pura menjadi agenda oleh sebab mengantar Ketut, sahabat dekatnya yang Hindu. Tapi itu alasan bayangan. Alasan sesungguhnya hanya ingin menggalau di teras pura. Memandang Semarang dari ketinggian, dan bertanya-tanya kapan dipertemukan dengan jodohnya.

"Weekend ini ada acara nggak?" tanya Ketut setelah selesai ibadah.

"Kenapa?" Haikal balik bertanya.

"Ikut ini acara asik kayaknya," jawab Ketut sambil memberikan ponselnya.

Di layar ponsel tertera pamflet acara "Lawatan Semarang". Penyelenggaranya mahasiswa sejarah kampus sebelah.

"Yok. Mangkat!" Seperti jawaban jomblo pada umumnya.

Sepulangnya dari pura, Haikal melihat kembali pamflet yang sudah dikirim Ketut. Kemudian entah kenapa teringat suatu ketika seorang kawan pernah bertanya, "Kenapa ambil jurusan sejarah? Kenapa milih di Semarang?"

Si jomblo dari lahir ini menjawab, "Rencana Tuhan. Saya bisa apa selain mengikuti."

Kalau di dunia ini hanya ada satu orang yang selalu pasrah mengikuti rencana Tuhan, maka Haikal adalah orangnya.

Tapi di balik pasrahnya, dia selalu menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, dan selalu menemukan jawaban kenapa Tuhan memberi jalan hidup ini kepadanya.

Sekarang, kalau ada yang bertanya, "Kenapa ambil jurusan sejarah?", jawaban Haikal, "Sejarah itu ilmu yang ajarkan manusia untuk bijaksana. Dan saya ingin."

Untuk pertanyaan kedua, "Kenapa milih di Semarang?", jawabannya masih sama, rencana Tuhan.

 ***

Matahari bersinar cerah. Terlalu cerah untuk ukuran matahari di musim penghujan.

Dengan vespa tuanya, Haikal berangkat menuju kampus sebelah. Rencana ikut acara bersama Ketut tempo hari terealisasikan.

Gambaran singkat tentang acara "Lawatan Sejarah" ini adalah kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di Semarang. Di setiap objek akan ada diskusi singkat bersama narasumber. Baik penyelenggara maupun peserta merupakan mahasiswa sejarah yang sama-sama masih belajar. Untuk berpindah mengunjungi objek demi objek, rombongan acara ini menggunakan motor. Mirip pawai.

Sebelum berangkat, dilakukan pembagian motor, sopir, dan penumpangnya.

"Mas, sama saya yaa?" Seorang perempuan, berjilbab merah muda, tiba-tiba datang mengguncang konsentrasi Haikal dengan pesonanya.

"Mas?" tanya perempuan itu sekali lagi, karena Haikal masih bengong.

"Eh iya. Tapi saya pakek vespa. Gapapa?"

"Waah malah seneng saya. Hehehe."

Sebelum berangkat, karena termasuk golongan orang-orang yang mudah akrab dengan orang baru, setelah berkenalan, keduanya langsung akrab.

"Panggil Haikal aja."

"Mas Haikal lah. Kan Mei lebih mudah."

"Oke, Dek Mei."

Setelah berkenalan, diketahuilah bahwa perempuan ini adalah Mei, nama lengkapnya Amelia Lijuan. Mahasiswa sejarah semester empat yang merupakan salah satu panitia penyelenggara. 

Perempuan berwajah oriental ini lahir di Semarang. Tumbuh besar di Semarang. Dan berniat menghabiskan masa tua hingga menutup mata di Semarang pula.

Yang paling penting, Mei adalah alasan Haikal bersyukur diberi kesempatan ikut acara ini.

"Di Semarang terus nggak bosen, Dek?"

"Mei sering ke luar kota kok. Cuma berkunjung tapi. Karena satu-satunya tempat Mei kembali ya Semarang."

Percakapan sederhana di perjalanan yang membuat Haikal semakin terpesona.

***

Objek pertama adalah Klenteng Sam Poo Kong. Rombongan duduk melingkar untuk diskusi.

Selagi pemateri menjelaskan sejarah Sam Poo Kong, hubungannya dengan Laksamana Cheng Ho, dan penyebaran Tionghoa di Semarang, yang ingin Haikal ketahui hanya seluk-beluk tentang Dek Mei seorang.

"Kamu ada keturunan Cina ya?"

"Iya. Nenek Mei itu cucu dari cucunya anaknya Cheng Ho."

"Serius?"

"Serius. Serius bercanda. Hahahaha."

"Lah."

"Eh tapi serius, Nenek Mei orang Cina. Dulu tinggalnya di Pecinan. Setelah nikah sama Kakek yang orang Banjar, jadi pindah tinggal di Kampung Melayu. Sampek sekarang masih di sana."

Kampung Melayu adalah kampung multi-etnis tempat berbagai budaya berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragam. Ada Cina, Banjar, dan Arab. Ada masjid dan klenteng. Ada toleransi antar-umat sebagai wujud kebinekaan. 

Yang paling penting, Nenek dan Kakek Mei tinggal di sana.

Lawatan berlanjut.

"Habis ini kemana, Dek?" tanya Haikal. Untuk basa-basi. Padahal dia sudah tahu. Ada rundown acara.

"Masjid Agung Kauman, Mas. Ishoma dulu, habis itu keliling-keliling Kampung Kauman. Ngapelin koko-koko Arab."

"Weeeh..."

"Hahaha. Kamu ada keturunan Arab ya, Mas?"

"Enggak. Keturunan orang ganteng aku sih."

"Masyaalloh..."

Dahulu, Kampung Kauman dihuni oleh para santri Ki Ageng Pandan Arang. Masjid Agung Kauman dan Mushola Kanjengan merupakan identitas kawasan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.

"Nih, Mas.. Berdasarkan peta tahun 1965, Ki Ageng Pandan Arang II pernah membangun pendopo. Terus, di sekitar pendopo itu ada pemukiman para abdi dalem. Nah di situlah awal mula Kota Semarang berada," jelas guide Mei singkat.

"Oh iya. Di buku 'Semarang Tempo Dulu' Wijarnaka juga bilang kalau embrio perkembangan arsitektur khas Semarang itu bermula di Kauman," guide Haikal tak mau kalah.

Bagi keduanya, ini bukan kali pertama berkunjung ke Kauman. Sudah terlalu sering. Tak bisa dihitung dengan jari. Tapi ini kali pertama keduanya begitu semangat berjalan-jalan menyusuri lapak pedagang tradisional, saling bertukar pengetahuan tentang sejarah sambil sesekali bersendagurau.

"Kamu ambil jurusan sejarah kenapa, Dek?"

"Emm, mungkin dari pas SMP, Mei tuh penasaran, kenapa sih penjelasan mengenai Belanda selalu mengarah ke hal-hal yang negatif? Soalnya Mei percaya kalau segala sesuatu itu punya sisi negatif dan positif. Jadi Mei penasaran. Terus jadi duka baca-baca dan kecanduan buku-buku sejarah."

"Oh gitu. Sekarang jadi udah tahu, apa dampak positif Belanda di Indonesia?"

"Yaa lumayan."

"Apa aja tuh?"

"Nih yaa.. Dari VOC perdagangan Nusantara bisa dikenal dunia. Dari Deandles, sekarang kita punya jalan Anyer-Panarukan. Dari Tanam Paksa dapat pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan yang luar biasa menurutku. Dan yang paling Mei suka, arsitektur bangunan dan tata kotanya. Eh tapi ini bukan berarti Mei merendahkan pengetahuan dan budaya asli Indonesia loh."

"Hehee. Iyaa paham."

Menjelang sore rombongan menuju objek terakhir, Kota Lama.

Saat melintas di kawasan Tugu Muda, Mei bertanya, "Mas tahu nggak, kenapa Lawang Sewu dibikin banyak jendelanya?"

"Soalnya Indonesia panas. Orang Belanda suka kegerahan."

"Sok tahu."

"Lah, terus kenapa emang?"

"Nggak tahu. Kan Mei nggak ikut bikin. Belum lahir. Hahahah."

Tugu Muda menjadi saksi bahwa hari ini, untuk kali pertama, seorang Haikal melintas dengan vespa tuanya, dengan seorang perempuan diboncengnya, dengan senyum sumringah yang tak hilang-hilang, dengan ucap syukur yang tak henti-henti.

"Kamu suka naik vespa kenapa, Dek?"

"Kalau Mas Haikal kenapa?"

"Berasa kece aja sih kalau naik vespa."

"Sama kalau gitu."

"Yeee..."

Sejenak kemudian hanya ada hening. Haikal fokus menyetir. Tanpa tahu mata sipit perempuan yang diboncengnya mulai berkaca-kaca.

"Dulu Mei sering diajak almarhum Ayah keliling Semarang naik vespa, Mas."

***

Mulai gelap, mulai dingin, mulai sunyi, mulai malam.

Rombongan mulai menyusuri jalanan berpaving dengan berderet bangunan kuno peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh. Dimulai dari Stasiun Tawang, Gedung Marabunta, Gedung Jiwa Sraya, Jembatan Berok, Gereja Blenduk, dan masih banyak yang lain.

Kali ini Mei yang memandu acara sekaligus menjadi pemateri. Seperti yang dia bilang sebelumnya, dia paling suka arsitektur bangunan dan tata kota khas kolonial. Rupanya tidak hanya suka. Tapi juga memahami dengan sangat baik. Sebaik dia menjelaskan dengan detail mulai dari latar belakang pembangunan, sejarah perkembangan, hingga pengaruh Kota Lama terhadap masyarakat.

Kali ini Haikal berjalan bersama Ketut dan rombongan yang lain.

"Tut."

"Apaan?"

"Lu dulu pernah nanya ke gue kan, kenapa gue milih kuliah di Semarang?"

"Iya, nape?"

"Sekarang gue tahu alasannya."

"Kenapa tuh?"

"Cewek yang gue cari ada di sini."

***

Acara terakhir adalah Sarah Sehan yang dilakukan di Taman Sri Gunting. Rombongan duduk bergerombol memenuhi jalan kecil di dalam taman. Saling bertukar kesan mengenai acara sehari ini di bawah cahaya lampu remang-remang.

Sebelum acara benar-benar berakhir, masih tersisa sedikit waktu untuk menikmati pemandangan Little Netherland di malam hari, untuk hunting foto bagi yang ingin, atau untuk duduk sendiri di kursi taman yang menghadap ke jalan, seperti yang Mei lakukan.

"Duduk doang. Nggak pengen jalan-jalan?" tanya Haikal kemudian duduk di sebelah Mei.

"Capek. Hehe. Mau duduk di sini aja. Mencari ketenangan."

"Mas temani deh."

Kemudian laki-laki Arab dengan hidung mancungnya duduk berdampingan dengan perempuan Cina dengan mata sipit yang mempesona.

Kota merupakan ruang tidak hampa yang dibangun oleh dinamika penghuninya, memiliki sejarah dengan proses pembentukan yang dapat dilacak dan dianalisis secara jelas. Kejelasan itulah yang sering kali membuat seseorang jatuh cinta.

"Mei."

"Iya?"

"Saya boleh bikin pengakuan, nggak?"

"Pengakuan?"

Ada hening sejenak.

Kota Lama diberi kesempatan untuk bersiap menjadi saksi bisu. Membiarkan kedua pasang mata saling bertukar pandang dan bicara dalam-dalam terlebih dulu.

Hingga keluarlah pengakuan dari seorang Haikal Alfarizi kepada Amelia Lijuan.

"Saya jatuh cinta kepada kamu. Seperti saya jatuh cinta dengan kota ini. Maka terimalah saya. Sebagaimana kota ini menerima kamu sebagai putri daerah yang berharga. Karena kamu tak pernah meninggalkan kota ini, saya pun tak akan meninggalkan kamu. Kalau pun suatu saat takdir mengharuskan saya pergi, bersedialah menjadi satu-satunya tempat saya kembali."


— Tamat :)

  • Share: