­
­

Yang Beda Hanya Dulu dan Sekarang

By Arihanaova - April 16, 2015

Sebangga-bangganya sama diri sendiri, pasti ada saat dimana kalian jenuh dengan kehidupan yang sedang kalian jalani. Sedihnya, kejenuhan itu sering saya rasakan akhir-akhir ini.

Oke, mari basa-basi dulu.

Setelah meninggalkan masa anak-anak dan beranjak abg, alhamdulillah Allah mengizinkan saya untuk mengenal-Nya lebih jauh. Saya yang saat itu masih unyu-unyu, sudah tinggal di pesantren. Harus hidup mandiri, jauh dari keluarga, hidup sama orang banyak, kegiatan padat, dan bikin saya nggak unyu-unyu lagi.

Setelah lulus dengan gelar santri, saya merasa bahagia sekali. Bahagia dunia akhirat. Meskipun teman-teman saya pas SD yang kebanyakan laki-laki, malah jadi jaga jarak sama saya. Ceritanya teman main di sekitar rumah saya, yang seumuran, itu cowok semua. Jadi saya lebih sering main sama mereka daripada sama teman cewek yang rumahnya jauh dan nggak asik mainannya. Nah, setelah saya di pesantren, teman-teman saya ini nggak pernah ngajak saya main lagi, pas liburan pun. Sebel sih. Tapi saya usaha positive thinking. Saya anggap mereka menghargai saya yang saat itu sudah menjelma menjadi santri yang kalem alim dan nggak maco lagi.

Masuk SMA, saya nggak di pesantren lagi. Tapi masih mondok. Ibadah masih kenceng, pakaian masih syar'i, sama lawan jenis juga saya jaga jarak banget.

Cocok sih saya masuk kelas bahasa. Satu kelas cuma 15 orang, cowoknya cuma dua. Tentram. Tapi sejujurnya kurang asik, berasa ada yang kurang gitu. Kalau dipikir-pikir nih, pas SMA itu saya nggak bisa mengeksplor diri dengan maksimal. Terlalu saklek sama mainset bahwa saya adalah santri lulusan pesantren yang nggak boleh macem-macem dan harus jaga image.

Saya pengen ikut pecinta alam.. enggak ah, banyak cowoknya. Pengen ikut teater.. enggak ah, nanti disuruh adegan ini itu. Pangen ikut paskibra.. enggak ah, kurang tinggi. Alhasil.. saya cuma ikut ekskul keagamaan dan ilmu yang saya dapat hanya mengulang kembali ilmu yang sudah saya dapat saat di pesantren. Eh enggak enggak. Saya juga dapat pengalaman luar biasa kok dari SIE 1. Sukses terus pokoknya OSIS SMADALA!

Dan akhirnya, sampailah saya di puncak kejenuhan, yaitu setelah saya masuk dunia perkuliahan. Allah menempatkan saya di jurusan yang nggak pernah saya inginkan sekalipun cuma dengar namanya. Jurusan Sejarah.

"Sejarah apaan sih, orang udah mati diomongin mulu. Pamali tau!"

Nggak kehitung deh berapa kali saya nerocos begitu, dulu, pas belum jadi mahasiswa sejarah. Lah kok bisa sekarang masuk sejarah? Ah sudahlah. Itu kehendak Allah di luar kuasa saya. Saya yakin Allah punya maksud terselubung, kenapa menempatkan saya di sini. Dan jadi tugas saya untuk cari tempe, eh tahu.

Di sini nggak ada lagi ustadz ustadzah yang ngawasin ibadah, pakaian dan kelakuan saya. Nggak ada lagi teman-teman sholekhah yang selalu bikin saya malu kalau ibadah saya males-malesan, kalau pakaian saya nggak syar'i, apalagi kalau kelakuan saya kayak preman. Yang tau tentang apa yang saya lakukan hanya Allah beserta segenap keluarga besar malaikat pencatat amal.

Jujur, keadaan ini membuat saya takut, gaes. Takut, karena saya termasuk anak labil yang sangat mudah terpengaruh lingkungan sekitar. Ya, saya adalah orang yang terlalu patuh dengan skenario alam. Sekeliling saya pada maco, saya bisa jadi preman. Sekeliling saya wanita sholekhah, saya berubah jadi santri. Labil akut stadium akhir pokoknya.

Pas semester awal kuliah, saya masih bertahan dengan mainset bahwa saya adalah santri. Masih kayak gitu lah pokoknya. Yang paling saya sesali hingga saat ini adalah, saya terlalu pilih-pilih dalam bergaul. Pikir saya, santri ya bergaulnya harus sama santri. Nggak banget ieuh! Hasilnya, saya malah jadi anak kuper yang songong jutek pendiem serem, dan lagi, saya nggak bisa maksimal dalam mengeksplor diri.

Seiring waktu berlalu, makin ke sini saya makin jenuh dengan hidup yang saya jalani. Saya makin kehilangan percaya diri. Saya pikir apa yang saya lakukan selama ini nggak lebih dari sebuah ke-naif-an. Saya kehilangan banyak hal yang seharusnya bisa saya dapat dengan mudah. Saya terlalu ambil pusing dengan mainset yang nggak seharusnya jadi mainset. Intinya saya jenuh.

Akhirnya saya pun mulai meninggalkan mainset saya sebagai santri. Ibadah mulai seenaknya, pakai pakainya senyamannya, kelaukan juga se-melakunya aja.

Tapi, nggak lama kemudian saya mulai merasa ada yang hilang dalam diri saya. Sepucuk rindu menyelinap masuk entah darimana. Saya rindu stripping ibadah pagi siang malam, rindu pakai pakaian syar'i, dan saya rindu mainset santri. Tapi saya nggak pengen balik kayak dulu lagi. Gimana dong?

"Senakal apapun kamu, Ibu nggak akan ninggalin kamu. Tapi kalau kamu sampai ninggalin sholat dan ngaji, kamu bukan anak Ibu lagi," pesan Ibu suatu hari ketika saya sedang gontai. Ikatan Ibu dan anak memang luar biasa. 

Orangtua saya memang taat sekali beragama. Yang mereka ajarkan ke anak-anaknya adalah bahwa sholat itu tiang agama, yang menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar, yang akan ditanyakan pertama kali di dalam kubur, terlebih lagi sholat itu cara kita untuk berhubungan dengan Allah. Dan ngaji, bisa membersihkan hati dan cara mencari petunjuk. Jadi mau senakal apapun, kalau sholat dan ngajinya nggak bolong, insyaallah masih selamat. Gitu kurang lebih.

Oke, langsung saya simpulkan saja. Yang kalian harus tau, gaes.. kadang Tuhan menempatkan kita di tempat yang nggak pengen kita datangi. Jangankan datang, dengar namanya aja kita udah enggan. Itu bukan berarti Tuhan nggak sayang sama kita. Tuhan cuma pengen kita jadi orang yang berpengalaman, bijaksana, tahan banting, dan selalu ingat sama kuasa-Nya.

Saya nggak pernah minta dilahirkan sebagai Ova Ariha Rusydiana, putri bungsu Bapak Chanzim dan Ibu Maftuhah, yang labil dan begini banget bentuknya. Tapi saya bersyukur karena labil membuat hidup saya berwarna dan berhasil memahat (ceileh mamahat udah kayak patung) saya menjadi preman berhati santri yang kaya akan pengalaman hidup (udah iyain aja biar cepet wkwkw). Dengan bentuk seperti ini juga saya tetap bangga, percaya diri, dan merasa keren. Kerena saya juga ciptaan Tuhan Yang Maha Keren.

Sekarang saya paham kenapa Allah nyuruh saya belajar sejarah. Karena sejarah adalah ilmu yang bikin orang bijaksana. Banggalah kalian wahai mahasiswa sejarah. Tepuk tangan!

Kata Pak Moh Hatta, "Sejarah itu bukan sekedar kejadian di masa lampau, tapi pemahaman masa lampau yang di dalamnya mengandung berbagai dinamika dan berisi problematika bagi manusia berikutnya."

Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah (nyanyi di kamar mandi). Gaes, saya suka banget lagu ini tapi lupa siapa penyanyinya. Dunia ini emang cuma panggung sandiwara, kita pemainnya, dan Tuhan sebagai sutradara paling keren di seluruh jagad raya. 

Coba kalian inget-inget, gaes.. episode-episode kehidupan yang sudah kalian lewati, pahami, dan hubungkan dengan bentukan kalian yang sekarang. Di situ kadang saya merasa sedih. Eh bukan. Di situ kalian akan sadar kalau skenario Tuhan itu cantik sekali. Lebih cantik dari gabungan Luna Maya tambah Medina Kamil tambah Raisa tambah Isyana tambah saya (?). Abaikan!

Pokoknya saya bahagia melewati masa kecil saya sebagai preman kampung. Saya bangga dengan mainset santri yang sudah menemani saya melewati masa remaja. Dan sekarang saya beruntung bisa bertemu dengan lingkungan dan manusia-manusia yang menyadarkan saya bahwa hidup terlalu berkelok untuk dijalani dengan hal-hal yang lurus-lurus saja. Sesekali bolehlah nikung kanan-kiri. Kalau perlu banting setir puter balik. Kesasar sampai jauh pun nggak masalah. Biar kita sadar, kemana jalan menuju pulang.

Semua episode yang pernah saya lewati adalah pengalaman luar biasa yang saya anggap sebagai anugerah terindah. Yang ingin saya lakukan sekarang adalah menjadi orang yang bijaksana dalam mengambil langkah, bisa menempatkan posisi, dan tahan banting atas segala konsekuensi. Dan yang terpenting adalah, saya nggak pernah lupa sama hubungan saya dengan Allah. Allah ada di dalam hati saya dan selalu di sana. Karena saya masih dan tetap akan selalu sadar bahwa saya membutuhkan-Nya.

Intinya, saat ini saya hanya berusaha memperbaiki cara saya berhubungan dengan sesama manusia, dengan tetap menomor-satukan hubungan saya dengan Allah. Nggak peduli orang mau melabeli saya apa, saya cuma mau be my self and do my best.

Baiklah, saya tutup dengan; Saya tetaplah saya. Yang beda hanya dulu dan sekarang. Karena Ova Ariha Rusydiana selamanya tetap Ova Ariha Rusydiana. Nggak bakal berubah jadi Maudy Ayunda apalagi Im Yoona. 

Sekian, terima kasih!

  • Share: