Perempuan-perempuan di Persimpangan Jalan

By Arihanaova - Mei 30, 2020

Berangkat dari pemaparan Amanda Lawrence (2017) dalam artikelnya yang berjudul "The Power of Intersectionality to Transcend National Identity in the United States", bahwa feminisme tidak lagi hanya perihal gender, melainkan juga perbedaan ras, agama, kebangsaan, kamampuan fisik, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Bahwa setiap perempuan memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Sehingga untuk mencapai perubahan sosial, feminis juga harus mendengar perbedaan-perbedaan tersebut. Kemudian muncul pertanyaan; bagaimana tentang interseksionalitas feminis di Indonesia?

Sehari sebelum menulis essai ini, saya membaca sebuah cuitan di Twitter dari salah seorang aktivis feminis, Kalis Mardiasih. Begini cuitan itu tertulis:
"ada perempuan nulis komentar: peminus (maksud dia untuk nyebut feminis) kerjaannya menghalangi perempuan memperoleh kemuliaan dan surga.
aq: tapi feminis membantu jutaan perempuan keluar dari neraka dunia dengan akses pendidikan, kemandirian ekonomi, layanan reproduksi dll."
 
 Beberapa hari sebelumnya, salah satu majalah online yang aktif membahas isu-isu kesetaraan gender (Magdalene.co, 2020), mengunggah sebuah artikel kontroversial berjudul "Prostitusi Bida Jadi Pilihan yang Berdaulat" dan mengatakan bahwa mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks secara mandiri cenderung lebih merdeka dan berdaulat akan tubuh dan dirinya. Tak lama setelah diunggah, artikel ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya Bidang Perempuan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (BP KAMMI), yang menganggap artikel tersebut sebagai kampanye hitam prostitusi berdaulat serta pelecehan terhadap peran istri dalam institusi keluarga.

Agak jauh sebelumnya lagi, sempat viral juga ungguhan foto pengurus di beberapa akun resmi organisasi intra kampus ternama, yakni BEM FMIPA UNJ dan Jamaah Muslim Geografi (JMG) UGM. Yang mana foto semua pengurus perempuan disamarkan, sangat kontras dengan pengurus laki-laki yang terpampang jelas tampak gagah nan perkasa. Hal ini menimbulkan polemik hingga muncul anggapan bahwa dalam organisasi tersebut terdapat patriarki dan seksisme. Perwakilan Fatayat NU (dalam Tirto.id, 2020) mengaku cukup menyayangkan hal ini, karena seharusnya kampus menjadi institusi yang progresif dalam hal-hal keadilan dan kesetaraan. Sementara beberapa perempuan yang bersangkutan, mengaku bahwa penyamaran foto adalah keinginan sendiri tanpa ada paksaan, sebagaimana keyakinan mereka bahwa memajang foto adalah sama dengan memperlihatkan aurat.

Kembali pada interseksionalitas feminis, sebuah konsep yang dikembangkan oleh feminis kulit hitam yang menganggap feminis sebelumnya sangat berorientasi pada perempuan kulit putih. Semua perempuan berpotensi menjadi korban penindasan dan ketidakadilan, namun penindasan dan perlakuan tidak adil ini akan berbeda, tergantung pada interseksi ketimpangan dan privilese. Di Indonesia salah satu yang paling terlihat adalah pengalaman keagamaan, sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia semakin hari semakin "religius". Mengutip istilah Julia Suryakusuma: dulu ibuisme negara, sekarang ibuisme agama.

Dari fenomena-fenomena yang saya sampaikan di atas, dapat dilihat beberapa interaksi ketimpangan dan privilese masing-masing kelompok. Di sinilah interseksionalitas, merujuk pada Carastathis (2014), dengan endless differences yang kompleks dan membingungkan, justru bisa menjadi ranah yang layak untuk didiskusikan. Keberagaman yang diibaratkan pisau dua sisi; satu sisi menjadi kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, satu sisi yang lain menjadi ancaman akan konflik hingga perpecahan. Pengalaman keagamaan misal, sesama muslim pun sangat beragam. Feminis muslim progresif dengan argumen sekulernya, sementara yang konservatif dengan dalil-dalil dalam ajaran agama.

Maka seperti yang saya dapat dari perkuliahan, bahwa feminis itu subjektif, perempuan itu beragam, termasuk beragam dalam cara dia membela diri sendiri dan semua perempuan, beragam cara dia menmberdayakan diri sendiri dan sesama perempuan. Kemuliaan dan surga masing-masing perempuan adalah berbeda. Pertanyaan "mana yang benar, mana yang salah, atau mana yang lebih baik" dan sejenisnya pasti akan muncul. Namun hal ini bukan tentang "mana benar mana salah", melainkan mampu atau tidak berlapang dada dan berpikiran terbuka untuk menerima setiap perbedaan. Jika tidak saling sepakat, bisa dilakukan dialog yang baik, tanpa saling serang dan menjatuhkan satu sama lain.

Kemudahan mengakses segala macam informasi melalui dunia maya juga menjadi hal yang rawan dewasa ini. Bagaimana prasangka dan stigma bisa dengan mudah merasuki hanya dengan sebaris dua baris kalimat yang bisa jadi salam dalam interpretasi. Hipotesis kontak yang ditawarkan Putnam (2007), bahwa prasangka dan stigma negatif bisa berkurang jika terjadi interaksi, dengan (paling tidak) dua syarat ini terpenuhi, yakni; ada tujuan atau visi-misi yang sama, dan hukum otoritas yang adil. Dengan cara yang berbeda-beda, tujuan feminis (sejauh pemahaman saya) adalah sama, yakni memerangi ketidakadilan. Sementara hukum otoritas yang adil, perihal kebijakan-kebijakan pemerintah, kiranya tidak bisa saya bahas disini.

Pada akhirnya, setelah melewati jalan yang berbeda-beda, perempuan-perempuan ini akan bertemu di persimpangan jalan, kemudian menentukan hendak melanjutkan kemana.

  • Share: