Hah!

By Arihanaova - November 26, 2019

Ingin ikut berkomentar tentang topik-topik yang hangat diperbincangkan oleh netizen akhir-akhir ini. Tentang ketimpangan ekonomi, miskin keturunan, privilese, daan seputar itulah pokoknya.

Beberapa waktu yang lalu, saat kuliah Teori Simbol, Prof Irwan sedikit menyinggung salah satu teori yang cukup terkenal di antropologi, yaitu limited good theory (George M. Foster, 1965). Tidak bisa rinci saya jelaskan teori tersebut, karena saya sendiri belum baca secara keseluruhan. Tapi intinya gini; semua barang di dunia ini jumlahnya terbatas, jadi, jika ada yang memiliki lebih, maka di sisi lain pasti ada yang kekurangan.

Beberapa waktu yang lalu juga saya baca beberapa tulisan kakak saya di media sosialnya tentang topik serupa. Panjang lebar dia tulis, sampe saya capek bacanya.

Saya pun jadi flashback ke masa-masa sulit yang dulu keluarga kami lalui, yang tidak salah lagi, bahwa masa-masa sulit itu hampir semua adalah seputar ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi yang bikin kami sering diperlakukan nggak adil, diremehkan, difitnah, dan yaa pokoknya terlalu bikin nyesek untuk diingat, tapi nggak akan pernah bisa dilupa.

Bapak dan ibu saya percaya sekali akan kuasa Tuhan dan sangat taat beragama. Begitupun yang mereka ajarkan ke anak-anaknya. Meski kami belum bisa setaat mereka, masih jauh, saya terutama. Pokoknya nggak pernah absen nasihat mereka untuk anak-anaknya, agar nggak lupa sholat, ngaji, puasa, untuk selalu sadar bahwa usaha aja nggak cukup, karna semua kuasa ada di tangan Tuhan.

Alloh meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu. 
Al-Mujadalah: 11

Katakanlah bapak dan ibu saya terobsesi dengan salah satu janji Tuhan di atas. Toh terobsesi dengan janji Tuhan itu bukan suatu kejahatan. Tapi saya pribadi, lebih berpikir bahwa, setiap orangtua pasti ingin anak-anaknya punya hidup yang lebih baik. Begitupun bapak dan ibu saya. 

Dalam hal ini, bapak dan ibu saya yang lulusan SMA, dengan kondisi ekonomi yang compang-camping, justru menjadikan pendidikan anak-anaknya sebagai prioritas paling utama dalam hidup mereka. Nggak peduli mereka makan apa di rumah, yang penting anak-anaknya bisa menuntut ilmu dengan tenang di perantauan. 

Nggak akan saya lupa, bahkan sampai nanti di kehidupan kedua (kalau ada), bahwa dulu, ibu saya pernah jalan kaki hampir 10 km untuk jenguk saya yang lagi sakit di pesantren. Bapak saya pernah naik sepeda ontel gresik-lamongan untuk nganter uang buku yang sudah kelewat batas akhir pembayaran. Kakak laki-laki saya, ingin langsung kerja setelah lulus SMA, jadi buruh katanya. Sama bapak langsung didamprat. Saking kepengennya bapak ibu lihat anaknya menuntut ilmu, sekolah yang tinggi. Saking nggak maunya bapak ibu kalau anak-anaknya harus mengulang pahitnya kemiskinan yang mereka rasakan. Katanya (entah kata siapa) rantai kemiskinan bisa dipotong dengan pendidikan.

Sudah begitu, ada pula salah "seorang guru" saya yang entah siapa namanya, saya nggak mau ingat. Dulu pas SMA, setiap menjelang ujian, ibu saya selalu ke sekolah, menemui kepala sekolah untuk minta keringanan, belum bisa lunasi spp. Karena kalau spp belum lunas, nomor ujian saya nggak dikasi. Kalau saya nggak punya nomor ujian, berarti saya nggak bisa ikut ujian. Kalau saya nggak ikut ujian, yaa gimana. 

Sejatinya minta keringanan ini bukan masalah besar. Sudah sering dilakukan bapak ibu sejak saya SMP, sejak kakak-kakak saya masih sekolah juga. Sampai suatu hari, "seorang guru" saya ini berkata ke ibu saya, di depan muka saya juga, dia bialng, "Anaknya udah susah payah masuk sekolah favorit, masa orangtuanya nggak mau kerja keras buat bayar spp."

"MULUT ANDA DIJAGA YA! TAU APA ANDA SOAL KERJA KERAS ORANGTUA SAYA, HAH!" saya maki-maki dia, dalam hati, tentu saja. Mana berani kalau langsung. Saya kan cemen.

Serunya, orang yang modelan "seorang guru" saya ini nggak hanya sekali dua kali datang ke kehidupan kami sekeluarga. Sering! Sampai kami terlatih sakit hati. 

Di sisi lain, beruntungnya, masih banyak orang-orang sekitar yang peduli dengan kami. Masih ada tetangga baik yang mau meminjamkan uang dengan cuma-cuma kalau bapak ibu udah kepepet. Ada alumnus dermawan yang bersedia bantu saya bayar spp. Hingga saya dan kakak-kakak saya yang beruntung bisa kuliah dengan beasiswa. 

Hingga hari ini, kami sekeluarga selalu bisa mengucap syukur tanpa berberat hati. Rasa syukur yang kemudian oleh bapak dan ibu menjadi sebuah pesan; besok kalau sudah jadi orang, punya uang banyak, jangan sampai lupa untuk memberi ke orang yang membutuhkan.

Mengutip dari tulisan kakak saya; tentang salah satu ayat al-Quran, "Tuhan nggak akan rubah nasib suatu kaum kalau sendirinya nggak mau usaha merubah", yang akhir-akhir ini banyak dijadikan senjata untuk memojokkan orang-orang miskin, dengan menganggap mereka miskin karena nggak mau kerja keras. Sementara mereka pura-pura lupa yang lebih penting, bahwa di al-Quran juga ada perintah untuk berbagi rezeki (zakat), untuk mengasihani orang miskin. Sigh!

Kembali pada limited good theory, bahwa semua barang di dunia ini jumlahnya terbatas, jadi, jika ada yang memiliki lebih, maka di sisi lain pasti ada yang kekurangan. Jadi, kalian-kalian yang merasa kelebihan, berbagilah dengan yang kekurangan. Tapi pun itu hak kalian. Nggak berhak kami memaksa. Kalau memang nggak mau berbagi, yasudah. Diam aja. Nggak usah sok tau bahas-bahas kerja keras orang lain.

Sudah tak kau kasi bagi malah memaki yang nggak-nggak. Tega kali kau ini manusia bukan, hah!

  • Share: