­
­

Semeru, oh Semeru

By Arihanaova - Juni 01, 2014

Oke langsung saja, kali ini gue mau nyeritain sedikit (anggap saja) keajaiban, sebuah skenario Tuhan yang sungguh mengejutkan.

Sekitar dua bulan yang lalu, kebetulan gue ada kegiatan kampus, semacam kuliah lapangan gitu, namanya KPS (Kajian Peninggalan Sejarah), yang akan dilaksanakan di Malang dan sekitarnya. Nah temen sekelas gue ada yang ngajakin muncak ke Semeru, habis KPS, tepat. Jadi kita nggak ikut rombongan balik ke Semarang, alias meninggalkan diri di Malang.

Awalnya gue ragu. Soalnya gue pendaki pemula, baru sekali muncak di Ungaran. Ditambah lagi fisik gue emang agak payah, gampang capek, dan itu bikin susah dapet izin orangtua juga. Sedangkan gue anaknya nggak akan lakuin apa-apa kalau orangtua nggak kasi izin. Mending langsung lakuin dulu, lapor nanti habis ngelakuin. Loh. Haha.

Kalau boleh curhat nih, Semeru ini adalah tempat yang gue pengen bangeeet ke sana bahkan sejak masih SD, dan nggak tau kapan, entah bisa kesampaian atau enggak. Jadi, ajakan teman gue ini adalah kesempatan emas yang nggak boleh disia-siakan. 

Kemudian seiring berjalannya waktu, semakin dekat dengan tanggal mainnya, entah kenapa senandung alam justru mengizinkan gue pergi mengunjungi si tampan, Mahameru. Sungguh terharu!

Jumat, 23 Mei 2014. Tepat ketika matahari di atas ubun-ubun, kita (gue, Rega, dan Sayuti) memisahkan diri dari rombongan yang kala itu tengah berada di Mojokerto.

Ini bisa dibilang agak apes, karena kita KPS itu tiga hari, hari pertama dan kedua kegiatannya di Malang, di Tumpang, di Candi Jago. Tapi, hari terakhir kita kegiatan malah di Mojokerto. Andai kata hari terakhir di Tumpang, kan enak tuh kita tinggal loncat ke Ranupani. Karena andai hanyalah andai, yasudin!

Singkat cerita, menjelang adzan Magrib, sampailah kita di Tumpang. Dan Tumpang ketika hari mulai gelap itu yaa, buset, sepi bangeeet. Entah memang selalu seperti itu atau gimana. Yang jelas saat itu nggak ada pendaki yang melintas barang satupun.

Kita mulai kebingungan cari cara gimana buat naik ke Ranupani. Dengan dalih membeli parafin di toko outdoor terdekat, Sayuti bertanya sama mas-mas penjaganya. Terus kata masnya gini, "Wah, tadi ada orang Jakarta bawa mobil, katanya juga lagi nyari barengan buat ke atas, soalnya dia sendirian. Coba kamu cari, kali aja masih di bawah. Kalau udah malam gini nyewa kendaraannya makin mahal, mending nginep di pendopo dulu, besok pagi baru berangkat."

Setelah mendengar wejangan dari masnya, Sayuti langsung keluar toko dengan matanya yang sipit mengedar ke seluruh penjuru Tumpang. Tapi nihil. Itu orang Jakarta udah nggak kelihatan batang hidungnya.

Berhubung kita cuma bertiga dan ketiganya bawa duit pas-pasan cenderung kurang, kita nggak berani nyewa kendaraan sendiri. Akhirnya kita putuskan untuk singgah di pendopo yang katanya menjadi tempat persinggahan para pendaki Semeru, baik yang udah turun, maupun baru akan mendaki.

Pas kita sampai di pendopo, di sana ada sekelompok mas-mas, sekitar lima orang kalo nggak salah, dan ada seorang mbak-mbak juga. Mereka lagi asik nongkrong sambil ngopi-ngerokok santuy gitu. Setelah kita ngobrol, ternyata mereka ini muda-mudi asli Tumpang dan emang sering nongkrong di pendopo itu.

Rega langsung cerita ke mereka tentang rencana kita, terus salah satu dari mereka bilang, "Kalau kalian daftarnya tanggal 23, sekarang harusnya udah di atas buat registrasi ulang. Besok dari tanggal 24 sampe 29 itu kuota udah penuh. Kalau kalian mau nunggu ya sampai tanggal 30."

Jadi di Semeru ini, yang gue juga baru tau, ternyata pakai sistem kuota yang harus booking dulu dari jauh hari. Nggak bisa datang langsung mendaki macem gunung yang sebelumnya gue pernah ke sana. Nah, Rega udah booking nih, untuk tiga orang di tanggal 23. Jadi harusnya kita udah di basecamp untuk registrasi ulang. Kalau enggak, berarti kuota kita hangus, nggak bisa diganti hari. Apalagi ternyata tanggal 24-29 udah full-booked. Makin bingung lah kita.

"Cari makan dulu yuk," kata gue mencoba mengalihkan kebingungan dan emang beneran laper banget. Baru inget kita dari siang belum makan apa-apa.

Kami pun keluar pendopo untuk cari makan, tapi bingung mau makan apa, dan malah nongkrong di pos ronda. Rega masih sibuk mencoba menghubungi pihak Semeru. Setelah terhubung, Rega ceritain kondisi kita.

"Kata bapaknya kita udah telat. Mau naik malam ini juga pendakian udah ditutup. Kalau besok, kuota udah penuh. Tadi si bapak juga cerita habis nolak orang dari Jakarta yang mau daftar on the spot. Padahal dia seorang diri, jauh-jauh dari Jakarta pula, tetep ditolak," kata Rega setelah menutup telfon dari si bapak.

Tamat sudah.

Kami pun saling bertanya; Apa yang harus kita lakukan? Udah sampai sini masa mau balik Semarang gitu aja? Muncak Arjuna aja gimana? Yaudah ke Arjuna aja yuk. Oke let's go!

Dasar gila emang.

Dengan perut yang masih kosong, kita langsung berkemas, say goodbye to Semeru dan langsung cabut menuju Arjuna.

Tapi, ketika selangkah lagi kita sampai di angkutan kota yang akan membawa kita pergi menuju Arjuna, seorang abang dengan temannya di seberang jalan memanggil kita. Rasanya seperti terhipnotis. Kita langsung berbelok arah, menyeberang jalan, menghampiri si abang yang dari penampilannya udah jelas dia adalah pendaki.

Ternyata si abang ini emang pendaki yang baru mau naik Semeru dan lagi nyari barengan buat ke atas supaya ongkos sewa kendaraannya lebih murah. Seperti yang udah-udah, Rega langsung cerita panjang lebar semua hal yang terjadi sama kita hari itu. Dari awal sampai akhir, sampai sekarang dimana kita hendak bertolak ke Arjuna.

"Kita nih ada rombongan, mereka udah di atas. Ini gue cuma berdua sama temen, soalnya tadi masih masuk kerja. Kemarin kita pesan kuota itu buat 35 orang. Tapi yang jadi ikut cuma 32. Kan sisa tiga, ntar kalian bisa pakek," jelas si abang.

Bisa pas banget gitu yaa. Gue pun heran. Skenario Tuhan emang.

Karena tujuan awal kita adalah Semeru, jadi nggak perlu pikir panjang kita untuk mengiyakan tawaran abangnya.

Truk melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalanan terjal. Menembus kabut tebal. Menerobos gelap dan dinginnya malam. Gue berdiri di bagian belakang. Dengan pandangan terbatas, mencoba menerawang pemandangan di kanan-kiri jalan. Semeru, we're coming!

Adegan greget di truk; si abang nanya ke kita, "Udah tau, kalau libur uang masuknya berapa?"

Gue diem, Sayuti juga diem, Rega yang bertanggung jawab urusan per-registrasi-an angkat suara. "Delapan belas ribu bukan, bang?" jawab Rega dengan tampang sok polosnya.

Si abang kaget. Katanya, "Kalian dapet info darimana? Sekarang kalau hari libur kena delapan puluh ribu loh. Kemungkinan ditarik uang kamera juga kalau bawa."

Sumpah malu banget. Kesel banget sama Rega. Dapet info darimana coba dia, 80 ribu jadi 18 ribu. Ya Tuhan. Tapi sekarang bikin ngakak kalau diinget lagi. Wkwkwk.

Lebih kesel lagi, ternyata Rega sengaja nyuruh gue bawa duit lebih banyak dari dia sama Sayuti. Supaya kalau ada kejadian tak terduga gini, gue bisa dimanfaatin. Si kampret emang.

Akhirnya kita sampai di Ranupani. Si abang langsung ketemu sama teman-teman rombongannya. Dan, emang namanya masalah yaa, nggak ada ujungnya. Apalagi coba tebak!

Jadi, setelah si abang cerita ke temannya tentang kahadiran kita bertiga, si temennya abang bilang, "Duh, kita tadi tegistrasi ulang cuma buat 32 orang, bang, gimana dong?" 

Kemudian si abang dan temennya mulai bisik-bisik dan mondar-mandir ke tempat registrasi. Sementara kita diem-diem aja pura-pura bego atau nggak emang bego beneran habis seharian terombang-ambing tak menentu.

Singkat cerita, pagi pun tiba. Langit cerah, udara segar, perut kenyang, badan bugar. Semalam kita nginep di pondok Ranupani bersama rombongan si abang. 

Bagaimana nasib kita selanjutnya? Tenang. Everything is okay. 

Entah gimana caranya, berkat si abang, kami berhasil masuk, nyempil-nyempil di tengah rombongannya. Masuk gratis, tanpa tiket, tanpa pemeriksaan perlengkapan. Bisa dibilang pendaki ilegal nggak sih kita gini tuh? Jujur gue takut asli. Tapi yaudah, doa aja semoga nggak terjadi apa-apa.

Dan inilah yang ditunggu-tunggu; prosesi pendakian. Hohoho.

Kita masih bareng sama rombongan di abang. Tapi, rombongan si abang ini pendaki dari segala usia. Dari yang masih remaja unyu, sampai yang udah pantes gue panggil nenek, ada semua. Jadi mereka jalannya terlalu santuy alias pelan banget dan banyak berhentinya. Sedangkan kita bertiga ini diburu waktu, maksimal tiga hari kita udah harus balik ke Semarang untuk ngurus laporan KPS. Jadi takut kelamaan kalau ngikut ritme mereka. Akhirnya setelah tiba di pos 1, ketika rombongan si abang tengah "istirahat besar" kita pamit untuk memisahkan diri jalan duluan. Berasa anak durhaka asli. Tapi gimana lagi yaa.

Lucunya, pas kita udah jalan duluan, kita lagi istirahat sejenak. Kemudian, "Eh si abang," kata gue begitu si abang nongol.

"Loh masih di sini aja kalian. Kirain udah nyempe Ranu Kumbolo," sahut si abang. Dan si abang yang meninggalkan rombongannya ini kemudian meninggalkan kita juga yang masih istirahat. Selanjutnya kita malah saling salip-menyalip. Kita jalan, si abang berhenti. Kita berhenti, si abang jalan. Begitu seterusnya sampai tiba di Ranu Kumbolo. Wuhuuuuy!

Hamparan air dikelilingi bukit, yang cuma jadi mimpi buat gue sejak enam tahun lalu, sekarang terpampang nyata tepat di depan mata. Luar biasa!

Rencana kita mau ngisi perut doang di Ranu Kumbolo. Istirahat bentar sembari menikmati pemandangan terus langsung lanjut ke Kalimati. Biar nanti malem bisa langsung summit. Tapi siang itu Ranu Kumbolo sedang panas-panasnya. Nggak tahan, kita pun diriin tenda, masuk, niatnya cuma berteduh, kemudian berbaring, kemudian bablas ketiduran. Ngaco banget emang.

Sekitar jam tiga sore, kita bangun, berkemas, dan segera lanjutin perjalanan. Berhubung tadi kita istirahat di daerah Ranu Kumbolo yang paling awal, jadi kita masih harus muter naik turun bukit, dan ketemu lagi sama rombongan si abang. Mereka nge-camp di Ranu Kumbolo. Asli pengen banget nge-camp di Ranu Kumbolo terus liat sunrise paginya. Tapi apalah daya.

Sampailah kita di Tanjakan Cinta. Gue berhasil melewatinya tanpa noleh ke belakang. Jadi, kalau menurut mitos, gue bakal berjodoh sama orang yang gue pikirin pas lagi jalan melewatinya. Amin. Tapi masalahnya, gue nggak sempet mikirin siapa-siapa, sibuk ngatur nafas, gimana dong! Mampus aja lu dasar jomblo.

Selanjutnya Oro-oro Ombo. Beruntung kita ke sana pas kemarau, jadi bunganya lagi mekar dengan ungu-ungunya. Cantik pol.

Semakin gelap, semakin dingin, semakin malam, dan kami masih di perjalanan. Sumpah capek banget. Sayuti yang kalau kalian tau, dia ini staminanya kayak Hanoman, tapi dia juga mulai capek. Rega juga mulai ngantuk berat dan rokoknya udah habis. Ditambah lagi rute dari Ranu Kumbolo ke Kalimati ini emang gurih-gurih enyoi.

Kalian yang udah pernah ke Semeru pasti tau. Yang belum, coba bayangin. Dimulai dari Tanjakan Cinta yang super nanjak, sumpah se-nanjak itu. Kemudian sebelum Oro-oro Ombo, harus turun bukit dulu yang cukup curam, lumayan banget mengikis kanvas rem kaki dan bikin dengkul letoy. Setelah itu jalan membelah Oro-oro Ombo yang jalurnya emang datar, tapi amat sangat panjang sekali. Habis itu Cemoro Kandang yang medannya naik turun berbukit-bukit. Halo kaki, apa kabar?

Sumpah capek banget gue. Saking capeknya gue memutuskan untuk pulang aja. Tapi nggak jadi lah masa pulang.

Akhirnya kita sampai di Kalimati. Di sana udah banyak banget tenda berjejer. Nggak pake naknuk-naknuk, segera kita bongkar kerir. Gue sama Rega diriin tenda, Sayuti masak. Enggak kebalik kok. Sayuti emang jago masak. Menu makan malam kita indomie mix rasa ayam spesial dan cabe hijau. Disantap langsung dari panci ajaib dengan sumpit dari ranting pohon di samping tenda. Mantap betul.

Kenapa indomie nikmatnya jadi berlipat-lipat gitu kalau dimakan di gunung yaa? Sebuah misteri.

Oke. Perut kenyang, tenda rapi, saatnya tidur. Selamat malam dari Semeru. Anjay!

Keesokan harinya, pukul 06.30 WIB. Gue bangun pertama. Habis bangunin Rega dan Sayuti, gue keluar tenda, dan Mahameru menjulang tinggi dengan begitu gagah tepat di depan mata, seraya berkata, "Siang banget bangunnya, neng."

Asli kesiangan banget kita. Padahal niatnya bangun jam satu atau dua dini hari, atau mentok subuh lah biar bisa summit liat sunrise. Eh malah. Kita kecapekan parah sih emang. Yasudah. Kita langsung siap-siap, isi perut, rapiin tenda seperlunya, kemudian berangkat menuju puncak Mahameru.

Masalah pun datang lagi. Sebelum masuk Arcopodo, kita ketemu sama sebuah plang bertuliskan, intinya batas pendakian itu cuma sampai Kalimati, dilarang naik ke puncak Mahameru, kalau masih mau naik, kalau nanti terjadi apa-apa, itu di luar tanggung jawab bbtnbts. 

Nyali menciut, broh. Kalau kita tetep lanjut, berarti kita jadi pendaki ilegal di jalur ilegal, ya nggak sih? Tapi kita pun tetep lanjut. Emang dasar siluman!

Setengah jalan menuju Arcopodo, kita ketemu sama mas-mas yang mau turun, habis summit. Awalnya biasa, basa-basi antar pendaki. Terus masnya ngasi tau, "Puncak tuh dibatasi 300 orang, nah sementara di atas udah ada 500 orang lebih kayaknya. Terus juga jam 10 nanti yang di atas udah harus turun, soalnya lagi sering erupsi. Perjalanan dari sini ke puncak paling nggak masih lima jam lagi. Jadi kayaknya udah nggak memungkinkan deh kalau mau ke puncak. Mending nginep semalem lagi di Kalimati, nanti malem summit."

"Masnya berangkat jam berapa tadi?" tanya gue.

"Kita jam 11 malem udah start dari Kalimati," jawabnya. Sementara kita bertiga jam 11 malem itu baru nyampe Kalimati dan langsung tidur sepules-pulesnya. Kacau emang!

Kita pun bingung lagi. Bingung mulu kita yaa. Wkwkw.

"Balik wae yoh. Nggak mungkin sampe puncak juga," ajak Sayuti.

"Gimana, Va?" tanya Rega ke gue. Karena di antara kita bertiga emang gue yang ngebet banget harus sampai puncak Mahameru. Yaa gimana yaa.

Setelah rembukan, menimbang-nimbang kondisi dan posisi kita, akhirnya gue, "Yaudah yok, balik. Foto-foto aja nanti di sepanjang jalan."

Meskipun gue masih yakin sama stamina gue, gue yakin masih bisa sampai puncak, apalagi ada Rega dan Sayuti yang jam terbang naik-turun gunungnya udah banyak, tapi nggak baik juga kalau terlalu memaksa keadaan gini. Apalagi ini kelasahan kita juga yang nggak paham prosedur pendakian di Semeru ini gimana. Udah nggak memungkinkan kalau mau nginep semalem lagi. Bekal makanan udah menipis. Dan lagi kita udah harus balik ke Semarang. Jadi yaudah. Kita pun balik, istirahat bentar di tenda, isi perut, berkemas, kemudian turun.

Kecewa banget pasti. Tapi nggak papa. Kesampaian ke Semeru aja udah syukur banget gue. Selebihnya dijadiin pelajaran aja, besok lagi biar lebih persiapan kalau mau naik gunung. Cari info yang bener-bener. Jangan ngasal kayak Rega. Wkwkwk.

Kalau di Semeru, dari pengalamanku ini, kurang lebih idealnya gini; hari pertama start dari basecamp agak siang atau sore. Nanti sampai Ranu Kumbolo nge-camp dulu di sana, biar dapet sunrise. Hari kedua lanjut ke Kalimati, nge-camp lagi di sana. Malemnya summit. Hari ketiga tinggal turun. Gitu.

Di perjalanan turun, kita papasan lagi sama si abang dan rombongannya yang baru beranjak dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati. Cuma sama si abang ini kita bilang jujurnya, kalau kita nggak sampai puncak. Kalau ada pendaki lain yang nanya, "Sampai puncak?" kita bertiga sepakat untuk jawab, "Emm, iyaa udah."

Bukan maksudnya kita bohongin orang, cuma gengsi. Wkwkwk.

Terakhir, aku mau berterima kasih.

Terima kasih, Tuhan. Skenario perjalanan ini unyu sekali.

Terima kasih, Rega dan Sayuti, yang udah berbaik hati dan nekat ngajak gue, menjaga gue sepanjang perjalanan dengan sabar, meskipun dimanfaatin juga tetep. Terima kasih banyak pokoknya. Jangan kapok ngajak gue naik gunung yaa. Hahaha.

Terima kasih, abang yang, kok baru sadar gue nggak tau nama dia wkwkw. Pokoknya abang yang nolongin kita pas kita udah putus asa. Berasa dikirimin malaikat penyelamat gitu kita. Terima kasih banyak ya, bang. Semoga ada kesempatan jumpa lagi dan bisa balas kebaikanmu.

Terima kasih, Semeru. Izinkan aku berkunjung lagi suatu saat nanti yaa.

Sekian, cerita perjalanan mengunjungi Semeru yang penuh dengan kejutan, kebingungan, kenekatan, dan pokoknya nggak akan terlupakan. Love you all. Mwah!

Saatnya pamer foto. Hahaha.















  • Share: