Yang Kirana benci sesungguhnya
Suatu hari di sebuah sekolah tempat Kirana menuntut ilmu, tempat dia menaruh harapan atas segala kebaikan hidup.
Sekolah itu sedang melakukan seleksi untuk memilih murid yang akan dikirim mewakili sekolah di olimpiade tingkat kabupaten. Hasil seleksi keluar, dengan nilai tertinggi di bidang Matematika diraih oleh Kirana. Beberapa hari kemudian, diumumkan bahwa yang akan mewakili sekolah untuk olimpiade Matematika adalah bukan Kirana, murid lain, yang nilai hasil seleksinya di bawah Kirana, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia punya koneksi dengan yayasan sekolah.
Sejak saat itu, Kirana benci matematika.
Dulu masih ada Ujian Nasional. Beberapa bulan sebelumnya diadakan beberapa kali try out untuk latihan. Di sekolahnya, di setiap try out, Kirana selalu mendapat skor paling tinggi. Tiba pelaksanaan Ujian Nasional, Kirana mengerjakan dengan jujur, dengan kemampuannya sendiri. Begitu hasil keluar, bergemuruh hati Kirana melihat yang mendapat skor tertinggi adalah murid dari keluarga kaya raya, yang diketahui seluruh sekolah bahwa si murid membeli kunci jawaban dan dibagi ke teman-teman terdekatnya. yang tentu Kirana tidak termasuk.
Sejak saat itu, Kirana benci orang kaya.
Begitulah kemudian Kirana tumbuh. Menghadapi hal-hal yang membuat batinnya bergejolak, membuat nafasnya sesak, membuatnya merasa selalu dirampas berbagai hal yang seharusnya dia dapat, kemudian dipaksa tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima saja.
Begitulah kemudian Kirana tumbuh. Menjadi pribadi yang kecil ambisinya untuk mengejar pencapaian duniawi. Menjadi manusia yang selalu melarikan diri dari menggerutu ketika keinginannya tidak terwujud, kepada keyakinan bahwa rencana Tuhan adalah selalu lebih baik.
Begitulah kemudian Kirana tumbuh. Menyadari bahwa yang dia benci sesungguhnya bukan matematika, bukan orang kaya, melainkan ketidakadilan.